Teringat saat saya sedang mengikuti salah satu seminar kewirausahaan di Jakarta Convention Center (JCC), saya mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga yang benar-benar menjadi motivasi saya saat itu. Sebuah kata-kata pahit dan tak sedap yang justru menjadi cambuk untuk saya agar bergerak lebih giat dan selalu bersyukur kepada Allah SWT.
Tahun 2006 kala itu, Cambukan ini tidak keluar dari mulut seorang profesional bisnis yang kala itu berpidato panjang lebar mengenai wirausaha, bukan juga dari si pembawa acara. Kata-kata pedas ini keluar dari mulut seorang bapak yang juga saat itu menjadi peserta sama sepertiku.
Pak Lutfi namanya, ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang usahawan dibidang perkayuan. Ia sendiri ikut seminar tersebut lantaran ingin memperluas pengetahuannya dalam segi berwiraswasta secara modern.
"Maklum, usaha saya masih kecil, masih ingin belajar bagaimana mengembangkan usaha", Pak lutfi berkata sambil bercerita tentang usahanya.
Saya hanya bisa tersenyum sambil berkata "ooh", namun didalam hati, saya merasa kagum bahwa orang yang usahanya sudah berjalan dan sudah bisa naik haji sekeluarga dari hasil usahanya tersebut, masih punya keinginan untuk terus belajar.
Akan tetapi bukan hal itu yang membuat saya bergetar. Adalah kata-katanya yang pelan tapi dalam maknanya inilah yang memotivasi diri saya untuk maju seraya terus bersyukur kepada Allah.
"Kalau mas sendiri usahanya apa?" tanya beliau.
"Nggak ada pak, belum punya modal soalnya" Jawabku.
"Kerja atau masih kuliah?"
"Sudah lulus kuliah pak, tapi belum kerja" Jawabku.
"Terus sudah berapa lama mas nganggur?"
"Sudah enam bulan pak", jawabku ngawur.
Tidak disangka, dari semua obrolan ringan tersebut keluar sebuah kata-kata kasar yang tak kusangka keluar dari seorang yang sudah haji.
"Kenapa nggak mati aja sekalian mas?" lanjut pak lutfi dengan santai.
Benar-benar tak sedap kalimat tersebut saya dengar dari seseorang yang baru saya kenal. Sayapun menenangkan diri, seraya penasaran saya balik bertanya. Tapi memang saya sedikit emosi.
"Maksudnya apa pak bicara seperti itu?"
"Maaf kalau kata-kata saya terdengar kasar. Tapi memang benar bahwa harga diri mas sebagai seorang lelaki sungguh rendah. enam bulan tidak menghasilkan sesuatu apapun. Apa hasil kuliah mas selama ini." Jawab beliau dengan tidak memandang kearahku.
Rasa kesalku menumpuk, namun masih kucoba meredamnya.
"Selama ini saya berusaha mencari kerja kok pak, saya sudah melamar kesana kesini, tapi belum ada panggilan. Saya juga berusaha pak, bapak belum kenal saya kenapa bisa menilai seperti itu?" Sanggahku.
"Itu bukan berusaha namanya, tapi ngandelin."
"Maksudnya?" tanyaku.
"Apa mas ini melamar kerja setiap hari? apa mas ini melamar kerja 24 jam sehari selama enam bulan? Dikemanakan sisa waktu selain melamar kerja itu? Kenapa kamu nggak usaha?"
Kali ini saya terdiam, namun tak mau mati langkah saya menjawab. "Lha kalau belum ada modal mau usaha apa pak?"
"Baik, saya percaya kamu ada keinginan berusaha. Bagaimana kalau saya kasih kamu modal 1 milyar? saat ini juga, tapi tentu saja tidak dengan cuma-cuma."
"maksud bapak apa sih..." rasa kesal saya sekarang berganti menjadi kebingungan, perlahan saya mengetahui ada sesuatu dari obrolan mengesalkan ini.
"Saya hargai sepasang kakimu 500juta rupiah, sepasang tanganmu 500juta rupiah. Toh Kamu cuma perlu modal kan?"
Saya cuma bisa diam.
"Maaf kalau kata-kata barusan menyinggung perasaan mas, tapi kata-kata itulah yang persis sampai ditelinga saya waktu saya seumuran mas." Lanjut pak lutfi.
"Kita sering berfikiran sempit, mengandalkan satu hal saja yang tanpa kita sadari semua potensi ada pada diri kita. Kita punya tangan dan kaki untuk bergerak,punya akal untuk berfikir, punya hati untuk niat berusaha. Tapi sering kali yang kita lakukan adalah tidak mensyukurinya dan selalu mengandalkan sesuatu.
Saya yakin mas berfikiran bahwa kita perlu berusaha, berusaha perlu modal, mencari modal adalah dengan bekerja. Tapi saya juga yakin bahwa pekerjaan itu banyak tersedia, hanya saja mungkin kita yang terlalu pilah-pilih. Selama pekerjaan itu halal kenapa tidak." Sekiranya itulah ceramah yang tiba-tiba keluar dari mulut pak lutfi saat itu.
Kekesalan sayapun memudar berganti rasa penasaran ingin terus mendengarkan ceramah belaiu, entah kenapa. Tapi ternyata ceramah tersebut tidak lama karena pak lutfi keburu di panggil ke panggung, yang ternyata beliau adalah salah seorang nara sumber pada saaat seminar tersebut. Kaget, pasti.
Ada petikan pelajaran berharga yang saya ambil kala itu.
Cerita ini adalah penggalan pengalaman hidup, yang tak pernah bisa terlupa. Semoga saya akan terus bisa berusaha dan berusaha tanpa lupa bersyukur kepada Allah SWT. Ternyata kata-kata pahit yang keluar dari mulut pak lutfi saat itu menjadi manis rasanya saat ini.
Tahun 2006 kala itu, Cambukan ini tidak keluar dari mulut seorang profesional bisnis yang kala itu berpidato panjang lebar mengenai wirausaha, bukan juga dari si pembawa acara. Kata-kata pedas ini keluar dari mulut seorang bapak yang juga saat itu menjadi peserta sama sepertiku.
Pak Lutfi namanya, ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang usahawan dibidang perkayuan. Ia sendiri ikut seminar tersebut lantaran ingin memperluas pengetahuannya dalam segi berwiraswasta secara modern.
"Maklum, usaha saya masih kecil, masih ingin belajar bagaimana mengembangkan usaha", Pak lutfi berkata sambil bercerita tentang usahanya.
Saya hanya bisa tersenyum sambil berkata "ooh", namun didalam hati, saya merasa kagum bahwa orang yang usahanya sudah berjalan dan sudah bisa naik haji sekeluarga dari hasil usahanya tersebut, masih punya keinginan untuk terus belajar.
Akan tetapi bukan hal itu yang membuat saya bergetar. Adalah kata-katanya yang pelan tapi dalam maknanya inilah yang memotivasi diri saya untuk maju seraya terus bersyukur kepada Allah.
"Kalau mas sendiri usahanya apa?" tanya beliau.
"Nggak ada pak, belum punya modal soalnya" Jawabku.
"Kerja atau masih kuliah?"
"Sudah lulus kuliah pak, tapi belum kerja" Jawabku.
"Terus sudah berapa lama mas nganggur?"
"Sudah enam bulan pak", jawabku ngawur.
Tidak disangka, dari semua obrolan ringan tersebut keluar sebuah kata-kata kasar yang tak kusangka keluar dari seorang yang sudah haji.
"Kenapa nggak mati aja sekalian mas?" lanjut pak lutfi dengan santai.
Benar-benar tak sedap kalimat tersebut saya dengar dari seseorang yang baru saya kenal. Sayapun menenangkan diri, seraya penasaran saya balik bertanya. Tapi memang saya sedikit emosi.
"Maksudnya apa pak bicara seperti itu?"
"Maaf kalau kata-kata saya terdengar kasar. Tapi memang benar bahwa harga diri mas sebagai seorang lelaki sungguh rendah. enam bulan tidak menghasilkan sesuatu apapun. Apa hasil kuliah mas selama ini." Jawab beliau dengan tidak memandang kearahku.
Rasa kesalku menumpuk, namun masih kucoba meredamnya.
"Selama ini saya berusaha mencari kerja kok pak, saya sudah melamar kesana kesini, tapi belum ada panggilan. Saya juga berusaha pak, bapak belum kenal saya kenapa bisa menilai seperti itu?" Sanggahku.
"Itu bukan berusaha namanya, tapi ngandelin."
"Maksudnya?" tanyaku.
"Apa mas ini melamar kerja setiap hari? apa mas ini melamar kerja 24 jam sehari selama enam bulan? Dikemanakan sisa waktu selain melamar kerja itu? Kenapa kamu nggak usaha?"
Kali ini saya terdiam, namun tak mau mati langkah saya menjawab. "Lha kalau belum ada modal mau usaha apa pak?"
"Baik, saya percaya kamu ada keinginan berusaha. Bagaimana kalau saya kasih kamu modal 1 milyar? saat ini juga, tapi tentu saja tidak dengan cuma-cuma."
"maksud bapak apa sih..." rasa kesal saya sekarang berganti menjadi kebingungan, perlahan saya mengetahui ada sesuatu dari obrolan mengesalkan ini.
"Saya hargai sepasang kakimu 500juta rupiah, sepasang tanganmu 500juta rupiah. Toh Kamu cuma perlu modal kan?"
Saya cuma bisa diam.
"Maaf kalau kata-kata barusan menyinggung perasaan mas, tapi kata-kata itulah yang persis sampai ditelinga saya waktu saya seumuran mas." Lanjut pak lutfi.
"Kita sering berfikiran sempit, mengandalkan satu hal saja yang tanpa kita sadari semua potensi ada pada diri kita. Kita punya tangan dan kaki untuk bergerak,punya akal untuk berfikir, punya hati untuk niat berusaha. Tapi sering kali yang kita lakukan adalah tidak mensyukurinya dan selalu mengandalkan sesuatu.
Saya yakin mas berfikiran bahwa kita perlu berusaha, berusaha perlu modal, mencari modal adalah dengan bekerja. Tapi saya juga yakin bahwa pekerjaan itu banyak tersedia, hanya saja mungkin kita yang terlalu pilah-pilih. Selama pekerjaan itu halal kenapa tidak." Sekiranya itulah ceramah yang tiba-tiba keluar dari mulut pak lutfi saat itu.
Kekesalan sayapun memudar berganti rasa penasaran ingin terus mendengarkan ceramah belaiu, entah kenapa. Tapi ternyata ceramah tersebut tidak lama karena pak lutfi keburu di panggil ke panggung, yang ternyata beliau adalah salah seorang nara sumber pada saaat seminar tersebut. Kaget, pasti.
Ada petikan pelajaran berharga yang saya ambil kala itu.
1. Menjaga Emosi
Jika saat itu saya emosi dan langsung memaki atau meninggalkan pak lutfi, jelas saya tidak akan mendapatkan pelajaran berharga dari beliau. Mungkin saat itu beliau juga ingin mengetes EQ saya, karena dalam hidup Hati ini benar-benar harus dijaga.
2. Tak lupa bersyukur kepada Allah SWT
Saat itu saya menyadari bahwa saya sempurna dengan kelengkapan anggota tubuh yang dapat saya gunakan untuk bekerja. Apapun pekerjaan itu kan yang penting halal. Dengan saya menganggur, berarti saya tidak memanfaatkan potensi yang telah dianugerahi kepada saya, berarti saya tidak mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada saya.
Cerita ini adalah penggalan pengalaman hidup, yang tak pernah bisa terlupa. Semoga saya akan terus bisa berusaha dan berusaha tanpa lupa bersyukur kepada Allah SWT. Ternyata kata-kata pahit yang keluar dari mulut pak lutfi saat itu menjadi manis rasanya saat ini.
Related Post: |
|
4 comments:
Wah artikelnya bagus nih.. Tx ya sob tlah share!
artikel yg menarik sekaligus motivasi ya, thanks sdh berbagi ini kawan.
lieur euy
lieur euy
Post a Comment
Saran, kritik, masukan, berikan semuanya ke ensiblogpedia agar blog ini dapat lebih maju untuk belajar bersama.